David Trezeguet mungkin dikenal sebagai salah satu striker terbaik yang pernah dimiliki Juventus, namun di balik kejayaannya tersimpan luka yang tak pernah sembuh. Berikut JUVENTUS FC PRO akan menjelaskan berita bola menarik lainnya.
Final Liga Champions 2003 di Old Trafford melawan AC Milan menjadi malam yang selalu membekas dalam ingatannya. Juventus kalah lewat adu penalti setelah bermain imbang tanpa gol selama 120 menit.
Menurut Trezeguet, kekalahan itu begitu menyakitkan karena Juventus datang dengan keyakinan penuh untuk menang. Mereka merasa lebih siap secara mental dan fisik dibanding Milan, namun hasil berkata lain. “Juve selalu punya gagasan bahwa kami harus menang, tidak ada hal lain yang penting,” ujarnya.
AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!
![]()
Kegagalan itu menjadi titik paling menyedihkan dalam kariernya. Ia menyebut malam itu sebagai penyesalan terbesar yang tidak akan pernah ia lupakan, karena baginya Juventus pantas meraih trofi Si Kuping Besar saat itu.
Keyakinan yang Berbalik Menjadi Kekecewaan
Trezeguet mengaku bahwa secara moral, skuad Juventus saat itu lebih unggul dari AC Milan. Mereka memiliki mental juara dan rasa kebersamaan yang kuat di ruang ganti. Namun, pertandingan berjalan sangat ketat dan minim peluang, membuat duel sesama tim Italia itu terasa lebih seperti perang mental daripada adu strategi.
Baginya, itulah yang membuat hasil akhir terasa begitu pahit. Mereka tidak hanya kalah, tetapi juga gagal membuktikan jati diri Juventus yang dikenal sebagai klub bermental juara. “Secara moral kami tiba dalam kondisi yang lebih baik daripada Milan, tetapi itu bukanlah pertandingan yang indah,” katanya.Kekalahan itu, menurut Trezeguet, menjadi cerminan bahwa dalam sepak bola, kesiapan mental dan semangat saja tidak cukup tanpa keberuntungan yang berpihak.
Baca Juga: Judul: Gol Telat Villarreal Gagalkan Kemenangan Juventus, Tudor: Tim Kami Terlalu Gugup!
Harapan yang Tak Pernah Tercapai
Setelah tragedi 2003, Trezeguet masih menyimpan harapan besar bahwa Juventus akan segera bangkit dan kembali ke final Liga Champions. Ia percaya kedatangan pemain-pemain bintang pada tahun-tahun berikutnya akan mengembalikan kejayaan klub. Namun, kenyataan berkata sebaliknya.
Juventus gagal menembus partai puncak selama bertahun-tahun, membuat penyerang asal Prancis itu merasa frustrasi. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari semangat tim setelah kekalahan tersebut.
“Melihat para pemain hebat datang, saya pikir kami akan kembali ke sana, tetapi kami tidak pernah berhasil,” ucapnya lirih, menggambarkan kekecewaan yang tak kunjung sirna.
Juventus yang Kehilangan Jiwa
Menurut Trezeguet, perubahan terbesar terjadi setelah 2006, saat Juventus dilanda skandal dan harus turun kasta ke Serie B. Sejak saat itu, ia merasa klub kehilangan sebagian dari jiwanya.
Ia membandingkan dua era Juventus yang berbeda: periode 2000–2006 yang penuh ambisi, dan periode setelahnya yang kehilangan aura juara. “Dari tahun 2000 hingga 2006 ada satu Juventus, tetapi setelah itu, semuanya berubah,” ungkapnya.
Bagi Trezeguet, Juventus bukan sekadar klub, tetapi simbol semangat juang. Namun kini, ia hanya bisa mengenang masa di mana Bianconeri benar-benar memiliki jiwa untuk menaklukkan Eropa. Manfaatkan waktu Anda untuk mengetahui informasi menarik Juventus lainnya hanya di juventusfcpro.com.